12 April, 2009

Sebuah Percikan Makna Di Balik Fenomena Kesenangan, Kemudahan, Keindahan, Kenikmatan, Kecantikan …..

Oleh: La Ode Ahmad

Saudaraku, Anda pernah merasakan rasa senang, bukan? Anda pernah merasakan suasana penuh kemudahan? Anda pernah menyaksikan sekaligus menikmati suatu keindahan? Anda pernah menyantap hidangan favorit Anda dengan penuh kenikmatan? Anda pernah menyaksikan penampilan seorang perempuan yang penuh aura kecantikan?

Saudaraku, saya percaya dan yakin Anda pernah merasakan atau mengalami semua itu. Dan tentu saja masih banyak pengalaman-pengalaman positif, menyenangkan, membahagiakan dll yang Ada rasakan yang dalam tulisan ini tidak seluruhnya bisa dicantumkan.

Dalam keadaan normal, semua orang suka akan segala sesuatu yang baik, yang indah, yang nikmat, yang cantik, yang gagah dan lain sebagainya. Tetapi, apa sesungguhnya makna dari semua ini atau semua itu?

Saudaraku, saya meyakini bahwa semua keindahan, kenikmatan, kebahagiaan, kemudahan, kesuksesan, kecantikan dan lain sebagainya adalah simbol-simbol kebenaran eksistensi Surga. Simbol-simbol itu ditampilkan oleh Zat yang menciptakan alam semesta ini sebagai ayat kauniah yang sekaligus menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang yakin.

Ketika kita sedang menyaksikan sebuah keindahan, katakanlah keindahan salah satu panorama alam misalnya, maka sesungguhnya pada saat yang sama kita sedang menikmati keindahan organ penglihatan kita yang saat itu kita pakai sebagai sarana untuk menyaksikan keindahan panorama tersebut. Di dalam konteks makna-makna seperti ini dengan mudah kita menyadari keberadaan Zat Maha Indah yang kuasa menghadirkan keindahan sekaligus kuasa menciptakan sarana-sarana tubuh kita untuk bisa menyaksikan keindahan itu.

Ketika orang-orang normal di dunia ini menyukai keindahan, maka sejatinya inilah fakta bahwa kita menyukai Surga sekaligus kita ingin menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Bahwa keindahan, kenikmatan, kemudahan, dan lain sebagainya yang kita saksikan di dunia ini bersifat fluktuatif, relatif dan sementara, itu karena mengikuti kodrat alamiah dunia yang memang seperti itu. Dengan kata lain, Surga yang kita saksikan atau bahkan mungkin kita nikmati di dunia ini adalah benar-benar Surga Simbolik. Surga seutuhnya, sebenarnya dan selamanya ada di alam pasca dunia.

Saudaraku, tidak ada ruginya kita menginginkan dan atau memiliki surga simbolik di dunia ini, asalkan keinginan terhadap obyek simbolik ini tidak mengalahkan (atau tidak mengorbankan) keinginan kita terhadap obyek substansialnya yang hakiki. Pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan untuk membuktikan salah satu keinginan hidup yang sangat luhur ini? Wallahua’lam

11 February, 2009

Menyikapi Fatwa MUI Tentang Rokok

(Sebuah Perspektif Filosofis Sederhana)
Oleh La Ode Ahmad

Seperti diberitakan berbagai media massa belum lama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan sebuah fatwa yang mengharamkan rokok, khususnya penggunaan barang berasap itu pada (atau oleh) ibu hamil dan anak-anak. Banyak prokontra yang berkembang berkaitan dengan fatwa tersebut. Pihak yang paling sering ditanya, atau dimintai tanggapan soal fatwa ini adalah para ustadz dan juga para dokter.

Kontroversi terhadap fatwa tersebut tampaknya akan tetap berlangsung, apalagi fakta-fakta menunjukkan bahwa tidak semua dokter, juga tidak semua ustadz atau ulama misalnya, bahkan tidak seluruh pengurus MUI umpamanya, memperlihatkan sikap tidak merokok. Bagaimana menyikapi keadaan semacam ini?

Pertama, ada baiknya kita selalu kembali kepada keyakinan awal bahwa fenomena prokontra terhadap sesuatu, tak terkecuali terhadap rokok dan hal-hal yang berkaitan dengannya, sudah menjadi (dan akan selalu menjadi) salah satu ciri khas dunia, karena memang dunia adalah tempat berkumpulnya hal-hal positif dan negatif sekaligus. Tempat yang murni positif saja hanya ada di surga, dan sebaliknya tempat yang murni negatif saja hanya ada di neraka.
Baik nilai positif maupun nilai negatif keduanya dapat tumbuh dan bahkan berkembang di dunia ini, sebab penghuni dunia yang bernama manusia diutus ke alam ini dengan membawa dua potensi dalam dirinya. Fa-alhamaha fujuuraha wa taqwaaha (Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaanya) [QS. 91:8].

Tak perlu dipersoalkan lebih jauh mengapa pada diri manusia oleh Tuhan diberi dua potensi yang berbeda secara diametral itu, karena memang segalanya sudah jelas. Makhluk yang diberi potensi positif saja namanya bukan manusia tetapi malaikat. Dan yang diberi potensi negatif saja namanya juga bukan manusia melainkan setan.

Nah, kita adalah manusia, bukan malaikat tapi bukan juga setan. Ciri-ciri dasar dari masing-masing makhluk ini sudah jelas. Yang menggembirakan bagi kita manusia adalah kelanjutan ayat di atas tadi. Qod-aflaha manzakkaaha, faqod-haaba mandassaaha (beruntunglah orang-orang yang membersihkan jiwanya, dan merugilah orang-orang yang mengotorinya) [QS. 91: 9-10].

Maka semakin jelas, kita ditempatkan di dunia ini sebagai makhluk berakal untuk menentukan pilihan dan sekaligus bekerja (atau beramal) berdasarkan pilihan tersebut. Independensi kita sebagai manusia terletak pada fakta tersebut. Hanya saja, orang-orang berakal sehat akan selalu yakin bahwa kebebasan tersebut adalah kebebasan untuk melakukan kebaikan, dan bukan kebebasan untuk melakukan hal sebaliknya, karena kebebasan yang terakhir justru akan menghilangkan substansi makna kebebasan yang sesungguhnya. Bukankah kebebasan untuk melakukan kejahatan akan melenyapkan kehidupan, termasuk melenyapkan kebebasan itu sendiri?

Setelah kita memahami hakekat prokontra sebagai sebuah keniscayaan duniawi, maka hal kedua yang perlu menjadi pegangan kita dalam menyikapi fatwa haram tentang rokok ini adalah mencoba mengambil sikap yang paling aman secara syar’i, yakni ”ambil yang meyakinkan, tinggalkan yang meragukan”. Andai saja tingkat keyakinan seseorang terhadap fatwa haram rokok ini masih berada pada level meragukan misalnya, yang berarti status keharaman/kehalalannya masih diragukan umpamanya, maka merujuk pada kaidah prinsip tadi sejatinya sikap yang perlu diambil dalam situasi tersebut tidak lain adalah ”meninggalkan rokok”, dan (maaf) bukan meninggalkan fatwanya.

Indah sekali salah satu pemandangan yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri di haromain (dua tanah suci) baru-baru ini. Di Mekah misalnya, banyak billboard terpampang di sudut-sudut jalan protokol berisi simbol larangan merokok lengkap dengan tulisan ”walaatulquu biaidiikum ilattahluka” (dan janganlah engkau menjerumuskan dirimu kedalam kebinasaan). [QS. 2:195].

Apabila sikap-sikap resistensi terhadap rokok masih belum bisa diwujudkan maka sikap yang perlu terus dipertahankan adalah sikap saling menghormati satu sama lain. Silahkan para perokok meneruskan aktivitasnya, dengan syarat selalu memastikan tidak ada paparan asap rokok terhadap orang/kelompok bukan perokok, agar minimal rasa nyaman masing-masing pihak tidak terusik.

Andaikan rasa nyaman itu selalu berarti aman pula, maka siapapun akan rela para perokok tetap mempertahankan kebiasannnya. Akan tetapi, kita tak rela sedikitpun apabila keyamanan itu ternyata mengundang kebinasaan. Riset-riset mutakhir tentang rokok semakin menunjukkan kebenaran ini. Wa-asaa antuhibbu syai-a wahuwa syarrullakum (boleh jadi engkau menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu). [QS. 2: 216].

Studi epidemiologi pertama yang menghubungkan aktifitas merokok dengan kejadian kanker paru-paru misalnya, diterbitkan tahun 1955 (Beaglehole, 1993). Dekade-dekade selanjutnya, fakta-fakta seputar kemudharatan rokok semakin banyak tersingkap oleh penelitian. Peningkatan yang signifikan kejadian kanker nasopharing juga terlihat sangat jelas pada kelompok perokok. Kasus-kasus serangan jantung, yang mendahului kematian mendadak seseorang, juga semakin hari semakin jelas kaitannya dengan aktifitas menghisap benda bernikotin itu.

Di halaman yang terbatas ini bolehjadi tidak akan bisa menampung seluruh informasi mengenai dampak negatif dari barang yang mengandung tidak kurang dari 2000 (dua ribu) jenis racun kimiawi itu.

Maka, pertanyaannya adalah, seberapa logis argumen-argumen mempertahankan rokok atas dasar potensi devisa yang bisa masuk ke kas negara melalui cukai rokok misalnya, sementara pada saat yang sama penanggulangan berbagai penyakit akibat rokok ternyata menyedot keuangan negara melampaui jumlah yang masuk?

Last but no least, memang kita akui manfaat-manfaat di balik rokok, tetapi kita akui juga rentetan kemudharatan yang ditimbulkannya. Karena itu, ada relevansi makna yang saya kira perlu kita garis bawahi dari sebuah kaidah fiqih bahwa dar-ul mafaasid muqoddamun ’alaa jalbil mashoolih (menolak kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat). Dengan demikian, hemat saya, sikap bijak yang paling relevan diambil di sini hanya ada satu: berhenti merokok dan/atau tidak pernah memulainya. Wallahua’lam.